Senin, 09 Januari 2017

Materi Agama Hindu Niwrtti dan Prawrtti Marga



A. Pengertian Niwrtti dan Prawrtti Marga

Niwrtti Marga ialah suatu jalan atau cara yang utama untuk mewujudkan rasa
bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi dengan wujud tekun melakukan yoga dan
samadhi. sedangkan Prawrtti Marga adalah suatu jalan atau cara yang utama untuk
mewujudkan rasa bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi dengan tekun melakukan
tapa, yajna, dan kirti. 
Sesungguhnya terdapat dua jalan atau cara yang utama bagi umat Hindu untuk
mewujudkan rasa bhaktinya ke hadapan Sang Hyang Widhi, yaitu melalui jalan
Nirwtti dan Prawrtti Marga. Di antara kedua jalan atau cara tersebut, masih ada
kebebasan dan keluwesan bagi tiap umat Hindu untuk memilih dan melaksanakan.
Jalan atau cara yang mana akan dilaksanakannya, tergantung dari situasi, kondisi dan kemampuan masing-masing pribadi umat yang bersangkutan.

B. Hidup Bermasyarakat Berdasarkan Ajaran Niwrtti Marga

Upaya dalam mewujudkan pelaksanaan Niwrtti Marga, penerapannya dapat
dilaksanakan melalui “Yoga Marga” dan “samadhi”. Yoga mengajarkan pengendalian diri untuk mengarahkan pikiran agar dapat bersatu dengan Sang Hyang Widhi. Orang yang sudah dapat melaksanakan ajaran yoga dengan  sungguh-sungguh disebut yogin. Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi seorang yogi untuk mengendalikan pikiran-pikirannya agar selalu jernih. Pelaksanaan yoga terdiri dari delapan tahapan, yang disebut “Astāngga yoga”. Astangga yoga merupakan salah satu dasar untuk melaksanakan ajaran Niwrtti Marga. Pelaksanaan hendaknya dengan sungguh-sungguh dan penuh disiplin,Tahap demi tahap.

1. Tahapan Permulaan adalah Yama.

Kata yama sebagaimana diuraikan di atas berarti pengendalian diri pada bagian awal. Yama sebagai tahap pengendalian diri paling awal, terdiri atas
lima bagian yang sering disebut “Panca Yama”. Bagian-bagian dari “Panca Yama” terdiri dari beberapa hal seperti di bawah ini:
a. Ahimsa artinya tidak menyakiti sesama makhluk hidup, atau saling menyayangi
antarsesama.
b. Brahmacari adalah masa belajar mencari ilmu pengetahuan.
c. Satya artinya setia, berperilaku jujur dalam kehidupan.
d. Apari artinya tidak serakah, tidak mementingkan diri sendiri.
e. Asteya artinya tidak mencuri, tidak korupsi, tidak mengambil hak orang




Sehubungan “yama” sebagai pengendalian diri tingkat pertama ,dalam kitab
Sarasamuscaya di sebutkan ada 10 (sepuluh) yama. Kesepuluh pengendalian diri tingkat pertama tersebut, adalah “Dasa Yama” sebagai berikut:
a. Anrçangsya artinya tidak mementingkan diri sendiri.
b. Kṡama adalah tahan akan panas dingin.
c. Satya adalah tidak berdusta.
d. Ahiṁsa adalah membahagiakan semua makhluk.
e. Dama yaitu sabar, dapat menasehati diri sendiri.
f. Arjawa yaitu tulus hati, berterus terang.
g. Priti adalah sangat welas asih.
h. Prasada adalah jernih hati.
i. Madhurya yaitu manisnya pandangan dan perkataan.
j. Mardawa adalah lembut hati.

Ajaran “Dasa Yama “yang terdapat dalam kitab Sarasamuscaya dan “Panca
Yama” baik digunakan untuk melaksanakan ajaran Niwrtti Marga. Kedua ajaran ini dapat menuntun dan menumbuhkan budi pekerti luhur masing-masing umat yang melakukannya.

 2. Tahapan Kedua adalah Nyama

Nyama merupakan disiplin diri tahap kedua setelah “yama” yaitu pengendalian
diri dari dalam diri (rohani) dalam Astāngga yoga, yang dapat digunakan sebagai
dasar dalam melaksanakan ajaran Niwrtti Marga. Nyama terdiri dari lima bagian
Masing-masing bagiannya adalah seperti berikut ini:
a. Çauca artinya suci lahir-batin
b. Santosa artinya kepuasan
c. Tapa artinya pengekangan diri
d. Swadhayaya artinya belajar
e. Iswarapranighana artinya bhakti kepada Sang Hyang Widhi.
Dalam kitab Sarasamuscaya, disebutkan ada sepuluh macam nyama, yang disebut
“Dasa Nyama”. Adapun bagian-bagian “Dasa Nyama” tersebut terdiri atas hal-hal
berikut:

a. Dana artinya pemberian makanan dan minuman, dan lain-lainnya.
b. Ijya artinya pujaan kepada Dewa, leluhur, dan lain-lain pujaan sejenis itu.
c. Tapa artinya pengekangan hawa nafsu jasmani.
d. Dhyana artinya merenung memuja Dewa Siwa.
e. Swadhyaya artinya mempelajari Veda.
f. Upasthanigraha artinya pengekangan nafsu syahwat.
g. Brata artinya pengekangan nafsu terhadap makanan.
h. Upawasa pengekangan diri.
i. Mona artinya tidak bersuara.
j. Snana artinya melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya.

AjaranDasa Nyama dan “Panca Nyama” sesuai uraian di atas dapat dipergunakan sebagai dasar melaksanakan Niwrtti Marga. Kedua ajaran ini patut dimengerti, dipahami dan diamalkan dalam mewujudkan kesempurnaan rohani.

3. Asana adalah sikap badan yang sempurna.

Asana sebagai suatu ajaran dalam Astāngga yoga bertujuan untuk meredam gerak-gerik tubuh, sehingga pikiran tidak akan diganggu oleh gerakan-gerakan tubuh itu. Dengan tenangnya badan seseorang dapat mengatur dan mengendalikan jalannya nafas dan gerakan pikirannya.
Pengendalian jasmani melalui asana maka tenaga yang kita miliki tidak akan terbuang sia-sia. Semakin sempurna kita dapat mengendalikan diri, maka kesadaran kita akan semakin halus, dan ini dapat menghantarkan rohani seseorang menjadi tenang.

4. Pranayama adalah pengendalian tenaga hidup.

Prana adalah tenaga hidup. Prana berada pada semua unsur, tetapi dia bukan unsur
itu. Dia bisa berada di udara, makanan, minuman, cahaya matahari, dan berbagai
benda. Prana merupakan bagian nafas alam semesta.
Dalam ajaran yoga, praktiknya pranayama dilakukan denga mengatur jalannya nafas.
Ada tiga bagian pranayama,yaitu sebagai berikut:

a. Puraka artinya memasukkan nafas
b. Kumbaka artinya menahan nafas
c. Recaka artinya mengeluarkan nafas

Untuk mencapai tujuan pelaksanaan ajaran yoga pranayama dapat dilaksanakan
secara berulang-ulang dan terus-menerus sebelum mencapai yoga.

5. Pratyahara adalah pemusatan pikiran pada Tuhan/Sang Hyang Widhi.

Menarik pikiran dari objek-objek yang menggelisahkan dan memusatkanya
pada diri sendiri (Sang Hyang Widhi), inilah disebut dengan pratyahara. Pratyahara
merupakan suatu proses awal dalam usaha mencapai samadhi.


6. Tahapan keenam Dharana.

Dharana adalah usaha mengikatkan pikiran pada satu objek (Sang Hyang Widhi),
agar ia dapat menetap dan tidak goyah.

7. Dhyana adalah tahapan ketujuh.

Dhyana adalah usaha melatih pikiran untuk tetap terpusat pada satu objek di dalam
atau di luar diri sendiri dan sampai mengalirkan arus kekuatan yang tidak terpecahpecah.
8. Samadhi adalah tahapan kedelapan (puncak yoga).

Samadhi adalah terpusatnya pikiran pada dirinya sendiri (Atman/Brahmana). Samadhi dapat dicapai oleh seseorang, apabila ia telah teguh dengan kekuatan dhyana, sehingga dapat menolak rangsangan luar dan hanya tetap pada pemusatan pikiran pada Sang Hyang Widhi. Dharana, dhyana, dan samadhi merupakan tingkatan usaha pemusatan pikiran sebagai wujud dari yoga yang sejati.

C. Hidup Bermasyarakat Berdasarkan Ajaran Prawrtti Marga

Prawrtti Marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti
ke hadapan Sang Hyang Widhi, dengan tekun melaksanakan tapa, yajna, dan kirti.
Masing-masing bagian pelaksanaan ajaran Prawrtti tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Tapa

Kata “tapa” berarti pengendalian diri untuk memuja Sang Hyang Widhi. Setiap
umat Hindu memiliki kewajiban untuk melakukan pengendalian diri, dengan tujuan menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi. Pengendalian diri (tapa) itu sangat perlu dilaksanakan secara tekun dan teratur. Pelaksanaan tapa dapat dilakukan dengan mengikuti ajaran yama dan nyama.

Kitab Yoga Sutra Patanjali menyebutkan ajaran yama dan niyama, masing-masing
terdiri atas 5 bagian yang disebut dengan nama “Panca Yama” dan “Panca Nyama”.
Sebagai makhluk Tuhan manusia hendaknya dapat kembali kepada-Nya dengan cara
tekun dan kesungguhan hati melaksanakan tapa melalui pelaksanaan ajaran Panca
Yama dan Nyama. Tapa merupakan salah satu cara untuk menyucikan jiwa/roh yang
ada dalam diri kita. Maha Resi Patanjali mengatakan bahwa citta atau alam pikiran manusia dibangun oleh manah (bagian alam pikiran yang bersifat penerima kesan) budhi (bagian alam pikiran yang bersifat menganalisa), dan ahamkara ( rasa aku/rasa ego).

Ajaran tapa dengan yama dan nyama dapat mengantar pikiran manusia menuju
sattwam. Dan sattwam beserta dengan tapa dapat mengendalikan Guna Rajas dan
Tamas. Bila ini dapat dan mau dilaksanakan maka manusia yang bersangkutan dapat
dinyatakan bijaksana serta berhasil dalam “tapa”. Sastra-sastra agama yang memuat ajaran pengendalian diri bila mau dipelajari, di dalam dan diamalkan dapat menghantarkan orang yang bersangkutan melaksanakan tapa. Dalam kesempurnaan “tapa” kita dapat merasakan Tuhan beserta manifestasinya itu ada, mensyukuri anugrah-Nya, merasakan hidup ini indah dan hidup ini damai.
Demikianlah manfaat ajaran pengendalian diri (tapa) itu, guna terciptanya sifatsifat
yang mulia dan bijaksana (kedewasaan) dan terkendali sifat-sifat egois atau
angkuh (keraksasaan).


2. Yajna

Yang dimaksud dengan yajna adalah suatu pemujaan dan persembahan yang
dilaksanakan oleh umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan beserta
manifestasinya yang dilandasi dengan rasa bhakti dan ketulusan hati. Secara umum umat Hindu melaksanakan lima jenis yajna. Berikut ini adalah bagian-bagian yajña:

a. Dewa Yajña yaitu persembahan ke hadapan Sang Hyang Widhi
b. Resi Yajña adalah persembahan kepada para rsi
c. Manusa Yajña adalah persembahan terhadap sesama manusia.
d. Pitra Yajña adalah persembahan kepada leluhur.
e. Bhuta Yajña adalah persembahan kepada para bhuta.

Pelaksanaan Yajña ini biasanya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (laka)
dan keadaan (patra). Di bawah ini pelaksanaan “yajña” menurut waktunya.
a. Setiap hari, yang juga disebut “Nitya Kama”, yaitu pelaksanaan Yajña yang
dilaksanakan setiap hari antara lain seperti berikut ini.
1) Melaksanakan Tri Sandhya yaitu menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang
Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) hari.
2) Mempersembahkan banten saiban yaitu menyampaikan rasa bersyukur ke Sang
Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, setiap habis masak di dapur. Kebiasaan
seperti ini perlu dilestarikan untuk menumbuhkembangkan rasa bersyukur umat
manusia ke hadapan Sang Hyang Widhi. Orang yang baik adalah orang yang makan-makanan yang telah dipersembahkan ke hadapan-Nya.
b. Pada hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu juga disebut “Naimitika Karma”.
Selain yajna itu dapat dipersembahkan setiap hari seperti tersebut di atas, juga
dapat dilaksanakan pada hari-hari atau waktu-waktu tertentu. Pelaksanaan yajna yang
berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, seperti yajna yang berhubungan dengan
hari raya nyepi : Saraswati, Pagerwesi, Ciwaratri, Nyepi dan yang lainnya.
Pada hari-hari tersebut di atas pemujaan ke hadapan Tuhan/Sang Hyang Widhi dilaksanakan secara khusus. Sedangkan menurut tingkatannya yajña itu dapat dilaksanakan melalui tingkatan nistan (nista), tingkatan madya dan tingkatan utama. Dari tiga tingkatan pelaksanaan yajña, dapat kita kelompokkan lagi masing-masing menjadi tiga tingkatan lagi seperti berikut ini:


a) Tingkatan nistaning-nista.
b) Tingkatan nistaning-madya.
c) Tingkatan nistaning-utama.
d) Tingkatan madhayaning-nista.
e) Tingkatan madhayaning-madya.
f) Tingakatan madhayaning-utama.
g) Tingkatan utamaning-nista.
h) Tingkatan utamaming-madya.
i) Tingkatan utamaning-utama.

Keutamaan dari yajña itu adalah sama, sedangkan tingkatan-tingkatannya itu
bertujuan untuk memberikan gambaran dari kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
yang melaksanakan yajña (Sang Yajñamana).
Yajña yang dipersembahkan umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi
menggunakan beberapa sarana yang ditata dan disusun sedemikian rupa, dalam
wujud sesajen atau banten. Sesajen dan banten merupakan sarana pelengkap dari
pelaksanaan suatu yajña ke hadapan-Nya. Sarana pokok dalam beryana terdiri atas; daun, bunga, buah, dan air serta yang utama kesucian hati yang mempersembahkannya. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan yajna itu adalah sebagaimana berikut:

1) Sebagai pernyataan rasa bersyukur dan terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi.
2) Sebagai pernyataan permohonan anugrah-Nya.
3) Sebagai ungkapan permohonan ampun atas segala kelalaian yang dilakukan.
4) Sebagai penghormatan kesucian diri, guna dapat mencapai kerahayuan,
     kesejahteraan dan kebahagiaan atas karunia-Nya.

Demikianlah manfaat “yajna” dalam pelaksanaan ajaran Prawrtti Marga, bila kita
dapat melaksanakan dengan kesungguhan hati akan dapat menikmati hasil atau phala
yang dijadikan tujuan.

3. Kirti

Kirti adalah suatu usaha, kerja ( karma) dan pengabdian yang dilaksanakan oleh
umat Hindu untuk menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta
manifestasinya. Kirti adalah wujud kerja umat Hindu dalam rangka melaksanakan
swadharmanya, baik dharma negara maupun dharma agama.
Wujud kirti umat Hindu dalam hubungannya dengan dharma agama, dapat
dilaksanakan melalui hal-hal berikut:

a. Membangun dan memelihara tempat suci (pura)
b. Memberikan dana punia kepada orang suci atau orang lain yang sangat membutuhkan
c. Membuat dan menyiapkan sarana upacara (sesajen) dalam rangka pemujaan
d. Melaksanakan aktifitas/kerja bhakti (ngayah) pada tempat-tempat suci (pura)
e. Dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktifitas agama.

Semua kegiatan di atas merupakan beberapa wujud dari “Yasa Kirti” umat Hindu
yang berhubungan dengan pelaksanaan dharma agama.
Kemudian dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma negara, “Yasa Kirti”
umat Hindu dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Turut berperan aktif dalam mensukseskan berbagai program pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah.
b. Berupaya mewujudkan pembangunan fisik di berbagai sektor seperti bidang
pendidikan, agama, sosial, kebudayaan, perekonomian, pertahanan, dan bidang-bidang
lainnya.
Dalam mewujudkan “Yasa Kirti” tersebut, hendaknya pelaksanaan selalu dilandasi
dengan dharma dan kebajikan. Terciptanya suasana kebersamaan, kekeluargaan,
semangat gotong royong, mantapnya pertahanan nasional, dan stabilitas nasional
yang tangguh adalah wujud nyata dari dharma negara umat Hindu.
Demikianlah wujud “Yasa Kirti” umat Hindu dengan hubungannya dengan
dharma negara dan dharma agama. Semuanya terjadi karena adanya kesadaran umat
Hindu untuk membangun dan berkarya, guna mewujudkan kesejahteraan jasmani dan
kebahagiaan rohani. Kesemuanya ini merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan
tujuan agama (Moksatham jagadhita ya ca iti dharma) dan tujuan penbangunan
bangsa Indonesia ( masyarakat adil dan makmur).
















Rabu, 21 Oktober 2015

SEJARAH KERAJAAN HINDU DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN HINDU – BUDHA DI INDONESIA

A. Penyebaran Agama Hindu – Budha di Nusantara
Perspektif masuknya agama Hindu di Indonesia ada 3 (tiga) teori:

1. Teori Sudra (golongan orang biasa)
Sesuai dengan namanya, teori ini menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke nusantara dibawa oleh orang-orang India berkasta Sudra.

2. Teori Waisya (golongan pedagang)
Menurut teori ini, kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu adalah golongan Waisya. Teori ini dikemukakan oleh Prof. N.J. Krom.

3. Teori Ksatria (golongan raja)
Menurut teori ini, kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu di nusantara adalah golongan ksatria. Proses penyebaran agama tersebut dilakukan dengan cara pendudukan (kolonisasi). Teori yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Ir. J.L. Mouens.

4. Teori Brahmana (golongan ulama / tokoh agama)
Menurut teori ini, faktor utama penyebaran agama Hindu di nusantara adalah dari kaum Brahmana. Teori yang dikemukakan oleh J.C. Ban Leur.
Penyebaran Agama Budha

Melihat bukti-bukti antropologi yang ada, agama Budha diperkirakan masuk ke nusantara sejak abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dapat dinyatakan dengan penemuan patung Budha dari perunggu di Jember dan Sulawesi Selatan. Patung-patung itu menunjukkan gaya seni Amarawati.
Agama Budha di nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hien pada awal abad ke-5 Masehi. Dalam laporan tersebut, Fa Hien menceritakan bahwa selama bermukim di Jawa, ia mencatat adanya komunitas Budha yang tidak begitu besar di antara penduduk pribumi.
Seorang Biksu Budha bernama Gunawarman, putera dari seorang raja Kashmir di India, yang datang ke negeri Cho-Po untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Negeri Cho-Po mungkin terletak di Jawa atau Sumatera.